HSE (Health, Safety, Environment,) atau di beberapa perusahaan juga
disebut EHS, HES, SHE, K3LL (Keselamatan & Kesehatan Kerja dan
Lindung Lingkungan) dan SSHE (Security, Safety, Health, Environment).
Semua itu adalah suatu Departemen atau bagian dari Struktur Organisasi
Perusahaan yang mempunyai fungsi pokok terhadap implementasi Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) mulai dari Perencanaan,
Pengorganisasian, Penerapan dan Pengawasan serta Pelaporannya.
Sementara, di Perusahaan yang mengeksploitasi Sumber Daya Alam ditambah
dengan peran terhadap Lingkungan (Lindungan Lingkungan).
Membicarakan HSE bukan sekedar mengetengahkan Issue seputar Hak dan
Kewajiban, tetapi juga berdasarkan Output, yaitu korelasinya terhadap
Produktivitas Keryawan. Belum lagi antisipasi kecelakaan kerja apabila
terjadi Kasus karena kesalahan prosedur ataupun kesalahan pekerja itu
sendiri (naas).
Dasar Hukum Ada
minimal 53 dasar hukum tentang K3 dan puluhan dasar hukum tentang
Lingkungan yang ada di Indonesia. Tetapi, ada 4 dasar hukum yang sering
menjadi acuan mengenai K3 yaitu:
Pertama, dalam
Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, disana
terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat Keselamatan Kerja,
Pengawasan, Pembinaan, Panitia Pembina K-3, Tentang Kecelakaan,
Kewajiban dan Hak Tenaga Kerja, Kewajiban Memasuki Tempat Kerja,
Kewajiban Pengurus dan Ketentuan Penutup (Ancaman Pidana). Inti dari UU
ini adalah, Ruang lingkup pelaksanaan K-3 ditentukan oleh 3 unsur:
Adanya Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha,
Adanya Tenaga Kerja yang bekerja di sana
Adanya bahaya kerja di tempat itu.
Dalam
Penjelasan UU No. 1 tahun 1970 pasal 1 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2918, tidak hanya bidang Usaha bermotif Ekonomi
tetapi Usaha yang bermotif sosial pun (usaha Rekreasi, Rumah Sakit,
dll) yang menggunakan Instalasi Listrik dan atau Mekanik, juga terdapat
bahaya (potensi bahaya tersetrum, korsleting dan kebakaran dari Listrik
dan peralatan Mesin lainnya).
Kedua, UU No. 21 tahun
2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning Labour
Inspection in Industry and Commerce (yang mana disahkan 19 Juli 1947).
Saat ini, telah 137 negara (lebih dari 70%) Anggota ILO meratifikasi
(menyetujui dan memberikan sanksi formal) ke dalam Undang-Undang,
termasuk Indonesia (sumber: www.ILO.org).
Ada 4 alasan Indonesia meratifikasi ILO Convention No. 81 ini, salah
satunya adalah point 3 yaitu baik UU No. 3 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun
1970 keduanya secara eksplisit belum mengatur Kemandirian profesi
Pengawas Ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat pusat (yang diatur
dalam pasal 4 dan pasal 6 Konvensi tersebut) – sumber dari Tambahan
Lembaran Negara RI No. 4309.
Ketiga, UU No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf 5 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat 1berbunyi: “Setiap
Pekerja/ Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas (a)
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Aspek Ekonominya adalah Pasal 86
ayat 2: ”Untuk melindungi keselamatan Pekerja/ Buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.”
Sedangkan Kewajiban penerapannya ada dalam pasal
87: “Setiap Perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja yang terintegrasi dengan Sistem Manajemen Perusahaan.”
Keempat,
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang Sistem
Manajemen K3. Dalam Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12
pasal ini, berfungsi sebagai Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3
(SMK3), mirip OHSAS 18001 di Amerika atau BS 8800 di Inggris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar